Kami dua bersaudara sedarah, satu darah, satu tumpah darah hanya berbeda nama turun bersama ke medan juang. Kami mengejar bayang-bayang pagi yang melayang hendak mencari tempat berhenti untuk memulai kisahnya yang penuh janji.
NASKAH LOMBA MONOLOG
HUT TEATER MANDIRI KE-46
2017
Judul: NKRI
Karya: Putu Wijaya
Kami dua bersaudara sedarah, satu darah, satu tumpah darah hanya berbeda nama turun bersama ke medan juang. Kami mengejar bayang-bayang pagi yang melayang hendak mencari tempat berhenti untuk memulai kisahnya yang penuh janji.
Karya: Putu Wijaya
Kami dua bersaudara sedarah, satu darah, satu tumpah darah hanya berbeda nama turun bersama ke medan juang. Kami mengejar bayang-bayang pagi yang melayang hendak mencari tempat berhenti untuk memulai kisahnya yang penuh janji.
Tentang Jamrut
Khatulistiwa, negeri tempat mekar berseri ribuan bunga aneka warna di sekujur
tiga ribu bukit dengan 250 juta kupu-kupu emas memenuhi hutan rimba yang
membuat Nusantara jadi legenda ajaib di seluruh jagat raya.
Negeri kitalah
sesungguhnya Keindahan, Kebesaran KehendakNya, karena mampu membuat
perbedaan jadi kelebihan, perbedaan bukan persengketaan tetapi nuansa yang
menyempurnakan.
Tetapi tiba-tiba ada suara deras dari dalam
batinku menyayat langkahku melambat. Kenapa harus berbagi kalau bisa kau
tuntaskan sendiri? Kenapa harus bersatu kalau tidak perlu? Kenapa harus mengalah
kalau bisa menang mudah?
Jangan kau lupa di atas
kapal hanya boleh satu nahkoda, lebih adalah badai. Tenggang rasa adalah
petaka! Jangan pelihara bencana. Bro!
Sejak itu aku gelisah,
ragu, bimbang, penasaran, kenapa berbagi itu wajib, kalau sendiri asyik lebih
sempurna makin bulat bahagia? Gila!
Lalu aku tegak miras. Aku pun ganas. Aku
putuskan musnahkan yang tak perlu. Maka aku angkat senjata dan nekat tembak
saudaraku sendiri, supaya bersatu saja dengan telapak sepatuku. Dor!
Tetapi peluru tertegun. Bingung di depan
dadanya, karena mencium bau yang sangat dikenalnya. Lalu tiba-tiba peluru itu
berkhianat, berbelok dan melesat terbang ke arah rumah tempat kedua orang tuaku
menunggu kami pulang berjuang. Awas!
Tapi sudah terlambat. Lalu kudengar teriakan kesakitan mereka tumbang. Ahhhh!
Ya Tuhan, kenapa Kau belokkan takdir, kenapa
Kau gagalkan sumbangan sejarahku? Bahkan Kau jadikan aku pembunuh orang tuaku!
Ini tak adil!
Tak bolehkah makhluk-Mu
merebut kebahagiaan yang diyakininya? Apa gunanya aku hidup lagi tanpa orang yang sudah memberiku darah
daging. Apa artinya bahagia kalau batinku compang-camping. Untuk apa punya
negeri kalau harus berbagi, walau pun dengan saudara sendiri. Untuk apa merdeka
kalau tak merdeka, akibat negeriku belang-bonteng?
Sukmaku terlumat perih sekarang. Aku kecewa, sudah Kau jatuhkan ke jurang hanya untuk membela mereka yang mengaku lemah. Oh kemana perginya akal sehat? ke mana ngacirnya para pembela kemanusiaan?. Kenapa aku dikhianti? Tolong! Aku sudah dizolimi
Sukmaku terlumat perih sekarang. Aku kecewa, sudah Kau jatuhkan ke jurang hanya untuk membela mereka yang mengaku lemah. Oh kemana perginya akal sehat? ke mana ngacirnya para pembela kemanusiaan?. Kenapa aku dikhianti? Tolong! Aku sudah dizolimi
Tetapi tiba-tiba kurasa dua pasang tangan
mengusap kepala dan pundakku. Bulu kudukku meremang. Ya, Tuhan, masak belum
cukup? Hukuman apa lagi ini?
Tetapi kemudian aku dengar sapa santun yang sangat kukenal. Anakku, tangis, sesal dan pedih adalah pertanda KaruniaNya. Engkau masih diberi kesempatan. Peluru itu tertegun di depan dada kami yang sangat dikenalnya, lalu minta maaf, kemudian langsung berbelok menbetot iblis di belakang kami yang sudah lama diam-diam memprogram kamu dengan topeng kebenaran dan keadilan palsu yang berbingkai kesucian. Wajahnya sangat mirip dengan wajahmu.
Tetapi kemudian aku dengar sapa santun yang sangat kukenal. Anakku, tangis, sesal dan pedih adalah pertanda KaruniaNya. Engkau masih diberi kesempatan. Peluru itu tertegun di depan dada kami yang sangat dikenalnya, lalu minta maaf, kemudian langsung berbelok menbetot iblis di belakang kami yang sudah lama diam-diam memprogram kamu dengan topeng kebenaran dan keadilan palsu yang berbingkai kesucian. Wajahnya sangat mirip dengan wajahmu.
Sekarang berhenti mengeluh, anakku,
palingkan mukamu ke depan kembali. Lihat saudaramu sudah menunggu kamu
melanjutkan perjuangan yang belum tuntas.
Pastikan kalian berhasil menangkap bayang-bayang masa depan negerimu seperti yang dimimpikan oleh para pahlawan. Apa pun yang terjadi tetaplah padu, satu dan pastikan diri kamu selalu pembela negerimu!
Putu Wijaya
Pastikan kalian berhasil menangkap bayang-bayang masa depan negerimu seperti yang dimimpikan oleh para pahlawan. Apa pun yang terjadi tetaplah padu, satu dan pastikan diri kamu selalu pembela negerimu!
Putu Wijaya
Jkt. 17 Mei ‘17
postingan ini didedikasikan untuk Putu Wijaya.
Terimakasih.